Antara Pria dan Wanita

pasangan

Di dalam Al Qur’an, Allah Swt. Berfirman berkaitan dengan keberadaan manusia, yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, sebagai berikut :

 

“ Hai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. (QS. Al-Hujurat 49:3).

 

“Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap tuhanmu yang maha pemurah? (QS. Al-Infithar 82; 6).

 

“Binasalah manusia, alangkah besar kekafirannya. Dari apakah Allah menciptakannya? Dari setetes mani Allah Swt. Menciptakannya dan kemudian menentukannya. (QS. ‘Abasa 80: 17-19).

 

Allah Swt. Menyerukan kepada segenap umat manusia dengan berbagai macam taklif. Manusia telah dijadikan-Nya sebagai sasaran khitab (seruan) dan taklif. Kepada Manusialah Allah Swt. menurunkan syariatnya. Dia akan membangkitkan manusia dan menghisab amal perbuatannya. Dia juga telah menciptakan surga dan neraka untuk manusia. Jadi, Allah Swt. Telah menjadikan manusia, bukan hanya pria atau wanita saja, sebagai objek pelaksanaan berbagai macam taklif.

 

Allah Swt. menciptakan manusia, baik pria maupun wanita, dengan suatu fitrah yang khas, yang berbeda dengan hewan. Wanita adalah seorang manusia, sebagaimana halnya pria. Masing-masing tidak dapat dibedakan dari aspek kemanusiaannya. Yang satu tidak melebihi yang lainnya dalam hal ini. Allah Swt. telah mempersiapkan kedua-duanya untuk mengarungi kancah kehidupan dunia sesuai dengan batas-batas kemanusiaannya. Pria dan wanita telah ditakdirkan untuk hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Allah Swt. juga telah menetapkan bahwa kelangsungan keturunan manusia bergantung pada interaksi kedua lawan jenis tersebut, selain keberadaan keduanyapada setiap masyarakat. Oleh karena itu kedua – duanya harus sama- sama dipandang sebagai manusia, lengkap dengan segala kelebihan yang dimilikinya dan segala kemmpuan yang mendukung kehidupannya.

 

Allah Swt. telah menciptakan pada masing-masing pihak sebuah potensi dinamis  (thaqah hayawiyyah). Potensi tersebut berupa dorongan kebutuhan jasmani (hajat udhowiyyah) seperti rasa lapar, rasa dahaga, atau buang hajat; serta berbagai potensi naluriah/ instingtif  (gharaiz, bentuk jamak dari gharizah ) seperti naluri untuk mempertahankan kehidupan, naluri seksual untuk melestarikan keturunan, dan naluri beragama (religioustas). Ternyata, dorongan kebutuhan jasmani maupun naluri-naluri ini ada pada masing-masing jenis kelamin. Allah Swt. juga menjadikan pada diri keduanya kekuatan berfikir. Akal yang ada pada seorang pria ternyata ada pula pada wanita, karena Allah Swt. memang menciptakan akal untuk seluruh manusia, bukan hanya untuk pria atau hanya untuk wanita saja.

 

Hanya saja, sekalipun naluri seksual bisa dipenuhi oleh seseorang dengan sesama jenisnya pria dengan pria atau wanita dengan wanita dan bisa pula dipenuhi dengan binatang atau dengan sarana-sarana lain, tetapi cara demikian tidak akan mungkin mengantarkan manusia pada tujuan yang telah ditentukan Allah Swt. Pemenuhan tersebut tidak lain hanya melalui satu cara, yaitu pemenuhan naluri seksual wanita oleh seorang pria atau sebaliknya. Oleh karena itu, hubungan pria dan wanita atau sebaliknya, dalam kaitannya dengan naluri seksual ini, tidak lain merupakan hubungan yang bersifat alamiah dan bukan merupakan hal yang aneh. Dapat dikatakan, hubungan tersebut merupakan hubungan dasar yang dapat mewujudkan tujuan penciptaan naluri ini, yaitu melestarikan keturunan manusia. Artinya, jika kedua lawan jenis (pria-wanita) ini saling berhubungan, hal ini sangat alami, bukan hal yang aneh; bahkan merupakan kelaziman demi keberlangsungan keturunan manusia. Namun demikian, melepaskan kendali naluri ini secara bebas merupakan tindakan yang sangat membahayakan bagi diri manusia dan kehidupan masyarakat. Sebab, tujuan dijadikannya naluri seksual tiada lain  untuk melahirkan anak demi melestarikan keturunan.

 

Atas dasar itu, pandangan terhadap naluri ini harus difokuskan pada tujuan dan penciptaannya pada diri manusia, yaitu untuk melestarikan keturunan, sehingga dalam hal ini tidak ada perbedaan antara pria ataupun wanita.

 

Sementara itu, rasa lezat dan kenikmatan seksual yang diperoleh dari pemenuhan naluri ini adalah bersifat alamiah dan lazim, baik diperhatikan oleh pelakunya ataupun tidak. Oleh karena itu, tidak benar apabila dikatakan bahwa, rasa lezat dan kenikmatan harus dijauhkan dari naluri seksual. Sebab, rasa lezat dan kenikmatan seksual ini memang tidak berasal dari persefsi seseorang, melainkan sesuatu yang alami dan lazim. Rasa ini juga tidak bisa dihilangkan, karena menghilangkannya adalah mustahil. Namun demikian, persepsi terhadap kenikmatan seksual itu sendiri memang berasal dari pemahaman manusia terhadap pemenuhan naluri dan tujuan diciptakannya naluri itu.

 

Disinilah seharusnya, manusia memiliki pemahaman tertentu mengenai gharizah an-nau’ (naluri seksual untuk melestarikan keturunan) dan tujuan penciptaannya dalam diri manusia. Hal ini akan membentuk pemahaman yang khas mengenai naluri tersebut yang telah Allah Swt. ciptakan dalam diri manusia, yaitu pemahaman yang membatasi hubungan pria dan waniata atau sebaliknya. Disamping itu, akan terbentuk pula pemahaman khas terhadap hubungan pria dan wanita, yaitu hubungan biologis atau hubungan seksual antara dua lawan jenis, sehingga akan mengarah pada tujuan penciptaan naluri ini, yaitu melestarikan keturunan.

 

Pandangan seperti inilah yang dapat mewujudkan pemenuhan naluri ini untuk melestarikan keturunan, sekaligus mampu mewujudkan tujuan penciptaan naluri ini, serta menciptakan ketentraman bagi masyarakat yang mengambil dan memiliki pandangan yang khas ini.

 

Pandangan masyarakat terhadap hubungan antara dua lawan jenis, yaitu hubungan seksual antara pria dan wanita, sebagai hubungan untuk meraih kenikmatan dan kelezatan semata-mata, harus diubah menjadi pandangan yang menganggap hubungan ini sebagai sesuatu yang alami dan pasti pada saat pemenuhan naluri ini. Pandangan tersebut juga harus terfokus pada tujuan penciptaan naluri tersebut. Pandangan seperti inilah yang mampu mempertahankan naluri seksual dan menempatkannya sesuai dengan tujuan yang benar. Pandangan seperti ini pula yang akan memberikan kesempatan kepada manusia untuk melaksanakan segala aktivitasnya dan menyelesaikan segala urusannya yang dapat mendatangkan kebahagiaan bagi dirinya.

 

Oleh karena itulah, setiap orang, mau tidak mau, harus memiliki pemahaman terhadap pemenuhan naluri seksual ini-sebagai naluri untuk melestariakan keturunan-serta terhadap tujuan penciptaan naluri tersebut. Pada tingkat masyarakat, mau tidak mau, harus ada suatu peraturan yang dapat menghapuskan pada diri manusia pandangan yang keliru terhadap hubungan lawan jenis dan anggapan bahwa hubungan tersebut sebagai satu-satunya perkara yang harus diperhatikan. Peraturan tersebut juga harus mampu mempertahankan hubungan kesjasama yang saling membantu antara pria dan wanita. Sebab,tidak akan pernah tercipta kemaslahatan apapun pada komunitas masyarakat, kecuali dengan adanya kerjasama harmonis antara pria dan wanita; dengan alasan, keduanya merupakan “dua saudara” yang saling mendukung karena adanya sifat kasih sayang dan saling menyayangi.

 

Atas dasar itu, upaya untuk mengubah pandangan masyarakat terhadap hubungan pria-wanita secara menyeluruh harus harus ditekankan sehingga mampu menepis pemahaman yang semata-mata menumpu pada hubungan seksual. Hubungan tersebut harus dijadikan sebagi sesuatu yang alami dan lazim pada saat pemenuhan, sehingga dapat menghapus pemahaman yang membatasi  hubungan itu sebagai hubungan yang bertumpu pada kenikmatan dan kelezatan seksual semata. Hubungan tersebut juga harus dijadikan sebagi pemahaman yang ditujukan demi kemaslahatan bersama, bukan dilihat dari sisi jenis kelamin masing-masing.  Pandangan ini harus selalu disandarkan pada ketakwaan kepada Allah Swt., bukan untuk mencari kenikmatan dan menuruti syahwat. Artinya, pandangan tersebut tidak menggingkari adaya kenikmatan dan kelezatan hubungan seksual, tetapi mengganggapnya sebagai suatu bentuk kenikmatan yang dibenarkan oleh syariat; mampu mewujudkan keturunan; dan selaras dengan cita-cita luhur seorang Muslim, yaitu mendapatkan keridhaan Allah Swt.

 

Ayat-ayat Al-Quran sangat memperhatikan hubungan suami-istri, yakni pada tujuan penciptaan naluri untuk melanjutkan keturunan. Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa pada dasarnya, naluri seksual diciptakan agar manusia menjalani  kehidupan secara berpasangan sebagai suami-istri dan sekaligus untuk melanjutkan keturunan. Dengan kata lain, naluri ini semata-mata diciptakan Allah Swt. demi kehidupan suami-istri saja. Banyak ayat Al-Quran menjelaskan keterangan demikian dengan berbagai cara dan makna yang beragam agar pandangan masyrakat terhadap hubngan pria dan wanita terbatas pada kehidupan suami-istri saja, bukan pada hubungan seksual pria dan wanita secara umum. Allah Swt. berfirman:

 

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari satu jiwa. Dari jiwa itu Allah menciptakan istrinya dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”(QS an-Nisa’[4]: 1).

 

Dialah yang menciptakan kalian dari diri yang satu. Darinya, Dia menciptakan istrinya agar dia merasa senang kepadanya. Kemudian, setelah dicampurinya, istrinya mengandung kandungan yang ringan dan dia terus merasa ringan (beberapa waktu). Selanjutnya, tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-istri) berdoa kepada Allah, Tuhan mereka, seraya berkata, “Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang salih, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur.”(QS al-A’raf [7]: 189).

 

“Allah menjadikan bagi kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri dan menjadikan bagi kalian dari istri-istri kalian itu sejumlah anak dan cucu.”

 

(QS an-Nahl [16]: 72).

 

“Diantara  tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari diri kalian sendiri supaya kalian cenderung dan merasa tentram kepadanya. Dia pun menjadikan diantara kalian rasa welas-asih.”

 

(QS ar-Rum [30]: 11).

 

“Dia Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kalian pasangan-pasangan dari jenis kalian sendiri.”(QS asy-Syura[42]: 11).

 

“Sesungguhnya Dia menciptakan pasangan laki-laki dan perempuan dari air mani pada saat dipancarkan.”(QS an-Najm [53]:45-46).

 

“Kami telah menjadikan kalian berpasang-pasangan.”(QS an-Naba’ [78]: 8).

 

Ayat-ayat tersebut menggambarkan betapa Allah Swt. sangat menekankan penciptaan laki-laki dan perempuan sebagai mahluk yang saling berpasangan dalam konteks kehidupan suami-istri. Hal ini diulang-ulang sehingga menjadikan pandangan terhadap pria dan wanita hanya bertumpu pada kehidupan suami-istri atau pada upaya untuk melahirkan anak demi melanjutkan keturunan.[]

 

 

 

About aisyahkhoerunnisa

. Aisyah Khoerunnisa, was born in Cianjur August 7 1995 . Want to be the smart muslimah. and I'm Proud to be Muslimah. . You can see me @ facebook : www.facebook.com/aisyah.khoerunnisa @twitter: @aisyahkhn @gmail : aisyah.khoerunnisa@gmail.com (you can send me letter) . be your self.. love peace and love all people in the world like u love yourself. .

Posted on Oktober 4, 2011, in Uncategorized. Bookmark the permalink. 1 Komentar.

  1. Tolok ukur perilaku BAIK
    Tolok ukur perilaku baik dan buruk harus mengacu kepada ketentuan Allah. Demikian rumus yang diberikan oleh kebanyakan ulama. Butuh ditambahkan, bahwa apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya.Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya buruk.
    Di sisi lain, Allah selalu memperagakan kebaikan, bahkan Dia memiliki segala sifat yang terpuji. Al-Quran suci surat Thaha (20): 8 menegaskan:
    (Dialah) Allah tidak ada Tuhan selain Dia, Dia memiliki Sifat-sifat yang terpuji (Al-Asma ‘Al-Husna) (QS Thaha [20]: 8).

    Rasulullah saw juga memerintahkan umatnya agar berusaha sekuat kemampuan dan kapasitasnya sebagai makhluk untuk meneladani Allah dalam semua sifat-sifat-Nya: “Berakhlaklah dengan akhlak Allah”.
    Ketika Aisyah ditanya tentang akhlak Rasulullah saw, beliau menjawab: “Budi pekerti Nabi saw adalah Al- Quran “(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad). Semua sifat Allah tertuang dalam Al-Quran. Jumlahnya bahkan melebihi 99 sifat yang populer disebutkan dalam hadis. Sifat-sifat Allah itu merupakan satu kesatuan. Bukankah Dia Esa di dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya? Karenanya tidak wajar jika sifat-sifat itu dinilai saling bertentangan. Artinya, semua sifat memiliki tempatnya masing-masing. ada tempat untuk keperkasaan dan keangkuhan Allah, juga tempat kasih sayang dan kelemah-lembutan-Nya. Ketika seorang Muslim meneladani sifat Al-Kibriya ‘(Keangkuhan Allah), ia harus ingat bahwa sifat itu tidak akan disandang oleh Tuhan kecuali dalam konteks ancaman terhadap para pembangkang, terhadap orang yang merasa dirinya superior. Ketika Rasul Saw melihat seseorang yang berjalan dengan angkuh di medan perang, beliau bersabda: “Itu adalah cara berjalan yang dibenci Allah, kecuali dalam kondisi seperti ini.” Seseorang yang berusaha meneladani sifat Al-Kibriya ‘tidak akan meneladaninya kecuali terhadap manusia-manusia yang angkuh. Dalam konteks ini ditemukan riwayat yang menyatakan: “Bersikap angkuh terhadap orang yang angkuh adalah sedekah”. Ketika seorang Muslim berusaha meneladani kekuatan dan kebesaran Ilahi, harus diingat bahwa sebagai makhluk ia terdiri dan jasad dan ruh, sehingga keduanya harus sama-sama kuat. Kekuatan dan kebesaran itu harus diarahkan untuk membantu yang kecil dan lemah, bukan digunakan untuk menopang yang salah maupun yang sewenang-wenang. Karena ketika Al-Quran mengulang-ulang kebesaran Allah, Al-Quran juga menegaskan bahwa:

    Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang, angkuh lagi membanggakan diri (QS Luqman [31]: 18).

    Jika seorang Muslim meneladani Allah Yang Mahakaya, ia harus menyadari bahwa istilah yang digunakan Al-Quran untuk menunjukkan sifat itu adalah Al-Ghani. Ini yang maknanya adalah tidak membutuhkan – dan bukan kaya materi – sehingga esensi sifat itu (kekayaan) adalah kemampuan berdiri sendiri atau tidak menghajatkan pihak lain, sehingga tidak perlu membuang air muka untuk meminta-minta.
    Orang-orang yang tidak tahu, menduga mereka kaya, karena mereka memelihara diri dari meminta-minta (QS Al-Baqarah [2]: 273).

    Tetapi dalam posisi manusia sebagai makhluk, ia sadar bahwa dirinya amat membutuhkan Allah:
    Wahai seluruh manusia, kamu sekalian adalah orang-orang faqir (butuh) kepada Allah (QS Fathir [35]: 15).

    Demikian seterusnya dengan sifat-sifat Allah yang lain, yang harus diteladaninya, seperti Maha Mengetahui, Maha Pemaaf, Maha Bijaksana, Maha Agung, Maha Pengasih, dan lain-lain.
    Adalah merupakan hak untuk seseorang atau masyarakat jika menjadikan sifat-sifat Allah sebagai tolok ukur, dan tidak membuat kelezatan atau manfaat sesaat sebagai tolok ukur kebaikan. Karena kelezatan dan manfaat dapat berbeda-beda antara seseorang dengan yang lain, bahkan seseorang yang berada dalam kondisi dan situasi tertentu juga bisa berbeda, dengan kondisi lainnya. Bisa jadi suatu masyarakat yang terjangkiti penyakit akan menilai keburukan sebagai kebaikan.

Tinggalkan Balasan ke dw14nton1 Batalkan balasan